Ruangan putih yang suasananya begitu sepi dan tenang, walaupun diisi oleh 5 orang di dalamnya, 4 orang dewasa, 1 diantaranya adalah wanita paruh baya.
Tetes air cairan yang digantung disebelahnya sama sekali tidak mengganggu tidurnya selama 3 bulan terakhir.
Pemeran:
Kata orang, orang yang koma bisa melihat dan mendengar segala yang ada disekitarnya, ya, itulah aku, aku adalah orang yang sedang menunggu, entah menunggu kehidupan ku yang melelahkan ataupun kehidupan ku yang abadi di alam sana.
(Kemudian ada yang muncul dihadapanya, sesosok gelap dengan mata yang mengkilat seperti sambaran petir.)
Ah, ternyata ini yang di pilih tuhan untuk ku, jalan hidup yang abadi dan pembalasan di alam sana, aku penasaran dengan apa yang akan di berikan tuhan, atas pembalasan apa yang telah aku perbuat, ya, aku memang bukan seseorang yang begitu baik dan sempurna.
(Wanita itu berjalan menghampiri sosok hitam itu, lampu panggung menyoroti langkah wanita itu, menuju sosok hitam itu.)
Apakah kau sosok yang di utus oleh tuhan untuk mencabut nyawa ku? Ah, aku tahu, maafkan aku, maksud ku menjemput ku, ya, aku tahu yang mencabut nyawa ku adalah tuhan bukan kau, apakah kita akan pergi sekarang meninggalkan semua ini? Aku kasihan dengan semua orang yang ada di sini, mereka pasti terbebani dengan biaya ku, selama ini.
Lalu apa yang kau lakukan disini? Ah, menunggu perintah selanjutnya? Jadi kau, disini hanya untuk di utus turun? Apa kau mengenal suami ku disana? Apakah kau tidak keberatan bila aku menceritakan kehidupanku selama ini sambil kita menunggu, dan mengapa aku ada disini?
Dahulu aku adalah anak yang baru lulus dari SMA di dusun ku, aku begitu bahagia begitu mengetahui aku lulus dari SMA itu, tapi tak berapa lama kebahagianku berhenti, orangtua ku tidak memiliki biayaya untuk meneruskan ku kebangku kuliah di kota besar, sampai suatu saat sahabat ayah ku, yang telah sukses di kota rantau sebagai pengusaha roti, aku yang sedang kebingungan diajaknya untuk bekerja sebagai pegawai di pabriknya, aku senang dan langsung menerimanya dengan senang hati, dengan pikiran siapa tahu aku bisa kuliah dari uang bekerja ku itu, aku menyiapkan semua kertas-kertas berhargaku, dan ikut dengan sahabat ayah ku itu.
Setahun bekerja disana aku masih belum bisa berkuliah, ya, gaji ku tak seberapa, hanya cukup untuk biayaya makanku dan kontrakanku, hanya beberapa ribu saja yang aku dapat tabung, memang benar nasib para buruh Indonesia tidak begitulah baik, tapi tak bisa ku pungkiri bahwa mengatur ribuan buruh dan memberi upah yang layak cukuplah sulit, saat itu dimana ketika hari raya tiba, Pa Mur dan Bu Mur mengantarkan ku pulang, aku tak tahu apa alasan mereka, sampai aku mendengar ayah ku memanggil ku, mereka mengantar ku pulang karena untuk menanyakan kesedian ku untuk menikah dengan anaknya yang bungsu, aku tak keberatan jikalau yang menikah dengan ku adalah anak mereka yang kesatu, mereka begitu berbeda jauh, ya, anak bungsunya hanya bisa menghabiskan dengan sia-sia uang mereka, aku yang menolak karena alasan ingin berkuliah dapat mereka rayu, mereka menjanjikan ku untuk bisa berkuliah saat aku nanti menikah, akhirnya aku menyetujuinya.
Apakah sekarang masih belum pula waktu tiba? Apa kau keberatan mendengar lanjutan cerita ini? Ya, setelah menikah denganya kepenuhanku belum pula terpenuhi, aku hanya dapat hidup di rumah mewah mereka, tanpa melepas jabatan ku sebagai buruh berpenghasilan sedikit, tak berapa lama Pa Mur meninggal, tak berapa lama Bu Mur juga meninggal, kakak ipar ku tak mau tanggung jawab dengan kebangkrutan perusahaan dan hidup kami, sedangkan suamiku hanya bisa berjudi menghabiskan uang warisan dari kedua mertua ku, satu tahun kemudian aku, mempunyai seorang anak, ini semua bukan keinginan kami, itu semua karena ia mabuk.
Aku tidak begitu saja tinggal diam, sesekali setelah terbangun karena tangisan putra kami, aku membuat adonan untuk jualan roti, suatu saat ketika aku menitipkan anak ku dan berjualan roti, suamiku memergokinya, rasa malu mungkin yang menyelimutinya ketika melihat aku, aku di geser dengan paksa, sesekali bibir ku bergetar aku masih ingat betul apa yang aku katakan saat itu, "Aku hanya mencari pekerjaan yang halal untuk anak kita, bagai mana mungkin aku tega mengalirin bocah suci itu dengan uang haram dari mu!" Tak beberapa lama tamparan keras mendarat di pipiku kasar.
Apa kau tahu perasaan ku? Kau hanya bisa mengerti, tapi aku percaya pada mu daripada perkataan manusia lain dengan kata mengerti itu, 3 tahun kemudian anak kedua ku lahir, sama seperti anak pertama ku, aku sudah terbiasa melihat suami ku membawa wanita lain datang dan pergi, aku sudah terlalu bosan melihat tingkahnya, ya, di tahun itu usaha roti kecil-kecilan ku tumbuh berkembang, aku sudah bisa kuliah, tapi aku memikirkan anak-anak ku, sampai suatu saat suamiku datang membawa keponakan ku, keponakan yang umurnya beda 5 tahun dari umur ku yang baru berumur 23 tahun, ya, ia melakukanya dengan suami ku, tanpa rasa malu, keponakan ku hanya berkata dengan sinisnya, "Ini semua permintaan suamimu, dan aku akan menikah denganya." Begitu katanya, tak berapa lama ketika anak ku yang ke dua berusia 5 bulan suamiku meninggal, ya, ia meninggal karena terpeleset di kolam ikan ketika sedang berjudi ikan disana, tak berapa lama keponakan ku menghampiri ku dan meminta maaf, sebenarnya anak yang ia kandung bukanlah hasil suamiku, sedangkan suamiku sudah memberi banyak uang pada keponakan ku, dan apakah kau melihat ia tertawa disana? Atau mungkin merenung? Apa disana dia juga masih suka marah-marah? Bagaimanapun, dia tetap suamiku terkadang aku memikirkanya saat ia sudah pergi.
Apakah menurutmu dunia ini aneh? Terkadang aku berpikir, bukankah semua manusia memiliki dosa? dan para malaikat tidak? Kalian begitu suci, dan selalu beribadah, sedangkan manusia, sekalinya mereka menjalankan ibadah mereka tidak suci, apa yang sebenarnya kita tunggu? Orang lain? Berapa banyak nyawa yang ingin kau jemput? Apa kau melakukan mereka dengan sama? Siapa saja orang yang kau jemput kali ini? Maha besar Allah, dia menciptakan semua umatnya penuh dengan perhitungan, kau bisa berada di banyak tempat dengan waktu yang sama, apa? Aku adalah salah satu yang paling beruntung diantara mereka? Aku sama sekali tidak takut akan kehadiranmu bagaimanapun suatu saat aku akan dijemput oleh mu, dan menghadap-Nya.
Berlaku adil? Bagaimana bisa? Bukankah ada orang-orang yang mengalami kesulitan saat di jemput oleh mu? O, jadi itu yang membuat mereka kesulitan, karena tidak ikhlas? Tapi bukankah itu manusiawi? Ya, aku tahu kau tidak tahu apa itu manusiawi, aku bahagia dengan kehidupanku ketika melihat kedua anak ku tumbuh dewasa, tumbuh dan berhasil membuatku bangga, dan aku yakin aku sudah ikhlas dengan keputusa-Nya ini, apakah orang yang kau tunggu sudah pula bersama mu? Ya aku sudah siap.
(Mesin yang ada disebelah wanita paruhbaya pun menampilkan layar garis lurus, dan suara yang melengking.)